Filsafat berada
di atas kualitatif, sedangkan kualitatif berada di atas kuantitatif. Filsafat
itu ditambah metafisik, dan sedikit menyentuh spiritualitas. Kuantitatif tujuannya
cenderung untuk menerima atau menolak. Kuantitatif banyak pengulangan. Sedangkan
kualitatif sedikit pengulangan. Separuh ilmu adalah logika, sedangkan
separuhnya lagi adalah pengalaman. Evaluasi adalah kombinasi antara kuantitatif
dan kualitatif. Inti dari evaluasi adalah untuk memperbaiki bukan untuk mencari
kesalahan.
Kekuatan
kuantitatif adalah statistiknya, sedangkan kualitatif yang kuat adalah alur, konteksnya,
dan hubungannya. Sedangkan filsafat kekuatannya adalah Keluasannya dan
kedalamannya. Luas dan dalam itu adalah pikiran para filusuf. Dalam Kuantitatif,
semakin banyak semakin baik, sedangkan kualitatif semakin asli, semakin unik,
tanpa plagiat, semakin bagus kualitasnya.
Kekurangan media
social adalah mengungkap keburukan orang lain kepada masyarakat umum. Terlalu
banyak hal-hal negatif di media social. Sebenarnya yang terpenting adalah
keikhlasan. Salah satunya adalah keikhlasan dalam meminta maaf dan dalam
memaafkan. Manusia adalah makhluk tidak sempurna, mungkin maksud tindakannya
baik, tujuannya adalah keikhlasan, tetapi tidak jarang malah menimbulkan pro
dan kontra. Artinya, ada saja kemungkinan ada efek atau dampak negatif dari
tindakan seseorang, sehingga menjadi tidak ikhlas pada akhirnya. Sejatunya semua
orang harus berpolitik, yaitu politik bela negara, artinya politik yang murni.
Di Inggris, guru
memberikan pertanyaan kepada siswa, minggu depan siswa ingin belajar apa? Sehingga
siswa dapat memberikan aspirasi, dan kemungkinan aspirasi siswa berbeda-beda.
Kemudian guru membuat perangkat pembelajaran sesuai dengan keinginan siswa
tadi. Inilah maksud dari kurikulum yang berkaitan dengan otonomi siswa, guru,
sekolah, atau daerah. Sementara itu, di
Jepang, pendidikannya unggul dalam segi membuat scenario atau skema. Mulai dari
awal sampai akhir pembelajaran dibuat skenarionya, beserta solusi-solusi dari
setiap tahap, jika terdapat masalah.
Di Indonesia,
sedang mencari jati diri, sehingga sulit melihat sesuatu yang konsisten. Ketika
sedang mencari jati diri inilah malah bisa melihat dan bertindak sesuai
kebutuhan masyarakat, tetapi cenderung bisa berubah-ubah kebijakannya. Di
Indonesia, terdapat otonomi daerah, yang konsepnya masih tanda Tanya. standar
nasional bisa berbeda dengan standar daerah, dan bisa sangat lebar. Seharusnya
program daerah harus dikompromikan dengan pusat. Demikian pula untuk kurikulum
pendidikan, seharusnya dikompromikan, tidak hanya dibuat oleh pusat tanpa
berkompromi dengan daerah.
Saat ini yang
unggul teknologi dan perdagangannya maka dialah yang unggul di dunia. Misalnya,
Jepang pernah merubah mindset, sebelum perang dunia, di jepang itu zaman
penakhlukan daerah-daerah di jepang untuk menciptakan jepang yang satu. Setelah
perang dunia ke 2, mindsetnya berubah menjadi negeri penjajah di tingkat dunia,
artinya menjajah wilayah lain, atau negara lain. Tetapi setelah kalah perang
(peristiwa Hirosima dan Nagasaki), Jepang berubah mindsetnya menjadi negeri
yang damai, walaupun secara tidak terlihat masih ingin menguasai dunia, dari
sisi ekonomi. “Jepang itu kaya karena miskin, tetapi Indonesia itu miskin
karena kaya”. Indonesia masih banyak yang kelaparan padahal lahan begitu luas,
misalnya lahan pertanian. Di jepang, lahan yang sempit pun, atau tidak ada
lahan pun, masih bisa diusahakan untuk bisa menanam tanaman makanan, dengan
menggunakan ide mereka.
10 tahun sampai
15 tahun yang lalu Indonesia, masih dianggap dunia sebagai negara terbelakang. Setelah
era teknologi, komunikasi menjadi cair. Saat ini, Indonesia sudah mendapat
pujian dari dari pimpinan negara lain. Saat ini Indoensia menjadi pemimpin
dunia, G20. Negara yang hanya mengandalkan “jasa” tidak bisa bertahan dengan
kondisi dunia saat ini. Artinya, negeri yang memiliki sumber daya alam dan
sumber daya manusia yang banyak atau bagus sekaligus, itulah yang dapat
bertahan di keadaan dunia saat ini.
PEP melekat di pendidikan, menjadi salah satu pilar dari pendidikan. Hakikat dari evaluasi secara intuisi adalah pengukuran, penilaan, pencatatan. Portofolio adalah cara pengumpulan. Apakah bisa evaluasi dalam bentuk portofolio?, bagaimna posisi evaluasi dalam beberapa macam ideology pendidikan.
No comments:
Post a Comment