Mengenal Immanuel Kant
Buku “Critique of Pure Reason” membahas
tentang gagasan filsafat Kant tentang pengetahuan. Melalui karya ini, Kant terbangun
dari ‘tidur dogmatik’ nya dan mulai membangun aliran filsafat yang disebut
sebagai Kritisisme Kantian. Kritisisme merupakan filsafat yang diawali dengan menyelidiki
kemampuan dan batas–batas nalar. Bagi Kant, kritisisme merupakan jawaban
terhadap dogmatisme. Dogmatisme menganggap pengetahuan objektif sebagai hal
yang terjadi dengan sendirinya. dogmatisme percaya sepenuhnya pada kemampuan
nalar dan mendasarkan pandangannya pada kaidah–kaidah a priori tanpa bertanya
apakah nalar memahami hakikatnya sendiri, yakni jangkauan dan batas–batas
kemampuannya.
Karya – karya setiap
filsuf mau tidak mau merupakan produk suatu pribadi yang hidup pada semangat
zaman tertentu. Begitupula dengan “Critique
of Pure Reason”. Untuk memahaminya, kita harus mendalami siapa Immanuel
Kant dan bagaimana perkembangan zaman yang melatari penulisan buku ini.
Immanuel Kant lahir di Prusia Timur pada tahun 1724. Ia lahir pada masa
peperangan. Kant merupakan putera dari pembuat pelana miskin beragama
Protestan. Kemungkinan leluhurnya berasal dari Skotlandia. Karena latar
belakang keluarganya yang sederhana, Kant bekerja keras untuk mendapatkan
posisi karier yang baik di Universitas Königsberg. Ia pertamakali bergabung di
sini sebagai mahasiswa pada tahun 1740. Lantas menjadi asisten privat tahun
1746. Menjadi asisten dosen pada tahun 1755. Hingga berhasil menyandang gelar
profesor pada tahun 1770.
Kant meninggal pada tahun
1804. Ia menghabiskan seluruh hidupnya di Königsberg. Kant hidup semasa
pemerintahan Frederick Agung sebagai Raja Prusia. Frederick Agung dikenal
sebagai pribadi yang menghormati otokrasi abad pencerahan, keberanian berpikir
bebas, dan spekulasi filsafat. Immanuel Kant sendiri dikenal sebagai pribadi
yang cerdas dan menyenangkan. Kuliah–kuliah yang diberikannya sangat populer
dan menghibur. Akan tetapi, di sisi lain Kant juga merupakan cendikiawan yang
hidupnya sangat teratur dan berdisiplin soal waktu. Kant juga merupakan pribadi
yang sangat memperhatikan kesehatan.
Ketika menuliskan “Critique of Pure Reason”, Kant juga
memakai dan mengkritisi gagasan–gagasan filsuf besar yang mempengaruhi
zamannya. Banyak bagian buku ini yang menyangkal gagasan–gagasan filsafat
empirik Hume, Berkeley dan Locke. Pada edisi kedua “Critique of Pure Reason”, Kant juga secara khusus menyanggah
idealisme murni. Tujuan utama “Critique of Pure Reason” adalah
mendamaikan pertentangan antara rasionalisme dan empirisme (antara akal budi
dengan indera) dengan menunjukkan bahwa keduanya saling melengkapi.
Estetika dan Intuisi
Dalam “Critique
of Pure Reason”, istilah estetika mengacu pada pengertian studi tentang
persepsi yang ditangkap melalui indera secara langsung. Persepsi dalam
pengertian Kant dianggap sebagai ‘data mentah’ yang hanya mencapai suatu
keteraturan dan pengertian lewat konseptualisasi. Kant mengartikan intuisi
sebagai proses penerimaan ‘data mentah’ pengetahuan dari pengalaman tanpa
melalui konseptualisasi.
Revolusi Copernicus dalam Filsafat Kantian
Nicolaus Copernicus merupakan
seorang ilmuwan abad ke–16 yang mencetuskan teori heliosentris. Teori yang
menggeser pemahaman bahwa bumi merupakan pusat semesta (yang dianut oleh
tradisi barat setelah dirumuskan secara mengagumkan oleh Ptolomeus). Model
heliosentris dipandang lebih tepat untuk menjelaskan fenomena astronomis kala
itu. Akan tetapi merupakan pandangan revolusioner yang ditentang keras oleh
otoritas gereja Katolik semasa Kant hidup.
Kant juga memandang bahwa
bangunan filsafat yang ia bangun merevolusikan pandangan terhadap akal budi
manusia. Akal budi manusia yang kala itu dipandang sebagai ‘bejana’ pasif
pengalaman menurut penganut empirisme, menjadi pusat kesadaran yang aktif.
Alih–alih menganggap akal budi sebagai pusat hasil pengamatan semata, Kant
justru berpendapat akal budi sebagai partisipator dalam pengamatan. Bahkan jika
ditarik lebih jauh, Kant menganggap akal budi–lah yang memprakarsai dan
membentuk pengalaman. Dunia yang saat ini kita pahami merupakan hasil dari
pengorganisasian akal budi.
Sifat Dasar Pengetahuan
Kant membagi pengetahuan
kita menjadi sebagai berikut: - Suatu pernyataan bersifat analitik, jika
predikat dari subjek termuat dalam subjek. Sebagai contoh, tautologi “Bola itu
bulat”. Pernyataan ini benar karena predikat ‘bulat’ terkandung dalam subjek
‘bola’. - Suatu pernyataan bersifat tidak analitik, jika pernyataan tersebut
menambahkan sesuatu yang baru tentang subjek. Pernyataan ini kemudian disebut
tidak murni dan disebut sebagai pernyataan sintetik.
Sebagai contoh, “Bola itu
berwarna merah”. - Suatu pernyataan disebut benar secara a priori, jika
kebenarannya ditentukan sebelum pengalaman, atau tanpa referensi pada
pengalaman. - Suatu pernyataan disebut benar secara a posteriori, jika
pernyataan tersebut ditentukan kebenarannya melalui referensi pada pengalaman.
Artinya kebenarannya hanya dapat ditentukan melalui acuan bukti empiris.
Seluruh pernyataan analitik bersifat a priori dengan alasan, bahwa kebenaran
logika pernyataan tersebut terlepas dari pengalaman yang kita alami. Pernyataan
ini tidak membutuhkan bukti empris untuk penilaian kebenarannya.
Seluruh pernyataan a
posteriori dengan sendirinya pasti bersifat sintetik, karena terdapat informasi
tambahan pada subjek yang didapatkan melalui pengalaman. Pada pernyataan di
atas, misalkan kita mengamati bola berwarna merah, maka pernyataan sintetik ini
menambahkan predikat ‘merah’ yang tidak terdapat pada subjek (didapatkan
melalui pengamatan) ke dalam subjek ‘bola’. Kemudian yang menjadi pertanyaan
adalah, adakah pernyataan sintetik yang bersifat a priori? Kant berpendapat
bahwa ada pernyataan sintetik yang bersifat a priori, misalnya pernyataan
kausalitas.
Penyataan A priori Sintetik
Kant berpendapat bahwa
studi filsafat menjadi menarik ketika dihadapkan pada problem a priori
sintetik. Dan faktanya, memang kajian filsafat modern selalu berhadapan dengan
permasalahan a priori sintetik. Pandangan Kant ini bertentangan dengan aliran
empirisme yang ketika itu populer di dunia filsafat. David Hume (1711 – 1776),
menolak segala bentuk pandangan yang membenarkan a priori sintentik. Namun,
bagi Kant penolakan Hume tersebut ironisnya justru merupakan bentuk a priori
sintetik (pernyataan semacam ini kemudian digunakan pada beberapa abad kemudian
untuk mempertanyakan keabsahan Prinsip Verifikasi penganut postivisme logis,
“Bagaimana kita dapat memverifikasi Prinsip Verifikasi?”).
Kant berpendapat, bahwa a
priori sintetik merupakan sesuatu yang esensial, karena merupakan bagian dari
keutuhan nalar kita. A priori sintetik merupakan kondisi niscaya yang
diperlukan agar pengetahuan menjadi mungkin. Di sinilah terletak kekhasan pemikiran
seorang Immanuel Kant, yang ia sebut sebagai Revolusi Copernicus dalam bangunan
filsafat. Kant menempatkan pikiran dalam kerangka aktif proses mengetahui dan a
priori sintentik merupakan cara pikiran untuk aktif dalam proses mengetahui.
Fenomena dan Noumena
Kata ‘Fenomena’ merujuk
pada dunia sebagaimana tampak pada kita dari perspektif personal. Bagi Kant,
dunia nyata hanya merupakan dunia fenomena yang kita tangkap dan konseptualkan.
Dunia fenomena berbeda dengan dunia noumena, yang mana merupakan dunia pada
dirinya sendiri yang disebut dalam Bahasa Jerman sebagai ‘das Ding an sich’
yang berada di luar perspektif kita. Sesuatu dalam sesuatu itu sendiri, berada
melampaui pengalaman kita. Kant berpendapat, bahwa kita tidak akan bisa mengetahui
dunia noumena. Hal ini selamanya tidak dapat diketahui, karena kita tidak dapat
keluar dari perspektif kita tentang dunia.
Konsekuensi pemikiran
Immanuel Kant tentang dunia fenomena dan noumena adalah : Dunia yang kita kenal
dan tinggali merupakan dunia fenomena yang diorganisasikan oleh pemikiran kita
dengan mensintesiskan banyak data. Jika saya melihat sesuatu, maka sesuatu
tersebut ada, karena dapat disentuh dan diorganisasikan dalam pikiran. Hal ini
merupakan sebuah fenomena bukan noumena. Kant mengandaikan bahwa suatu benda
dalam dirinya sendiri berada melampaui pengamatan kita.
Deduksi Transendental
Deduksi transendental merupakan metode yang menjadi
karakteristik argumen–argumen Kant dalam “Critique of Pure Reason.” Kata
‘Transenden’ bagi Kant berarti sesuatu yang berada di luar jangkauan
pengalaman. Sedangkan melalui konsep transendental, Kant hendak menyelidiki
bagaimana cara kita mengetahui. Bagi Kant, kedua kata tersebut memiliki makna
yang sedikit berbeda.
Pengetahuan Murni dan Pengetahuan
Empiris
Suatu konsep
disebut sebagai pengetahuan murni, jika konsep tersebut diabstraksi dari
pengalaman dan tidak terjadi secara langsung pada kenyataan. Pada tataran
inilah pengetahuan transendental berada. Kant menuliskan, “Seluruh pengetahuan
berawal dari pengalaman, akan tetapi hal ini tidak berarti, bahwa seluruh
pengetahuan berasal secara langsung dari pengalaman”. Dalam hal ini, Kant
secara tersirat menyinggung tentang pengetahuan transendental. Pengetahuan
transendental bukanlah sesuatu yang dialami itu sendiri. Pengetahuan
transendental tidak dapat dibuktikan kebenarannya tanpa pengalaman.
Forma Ruang dan Waktu
Ruang dan waktu merupakan forma yang
kita gunakan dalam melihat dunia. Ruang dan waktu tidak bersifat empiris dan
konseptual. Ruang dan waktu adalah cara kita mengalami dunia. Kita dapat
membayangkan suatu ruang dan waktu secara terpisah dari pengalaman. Oleh karena
itu, ruang dan waktu berada di luar pengalaman.
Kant berpendapat bahwa keduanya
tidak dapat dipelajari. Oleh sebab itu keduanya bukanlah konsep. Maknanya
adalah suatu konsep berkorespondensi dengan pengalaman menjadi suatu peradaban
tertentu akan mengkonseptualisasi dunia berbeda dengan yang lainnya. Namun,
ruang dan waktu merupakan sesuatu yang niscaya dalam setiap peradaban.
Metode Logika
Kant membagi logika ke dalam tiga kategori, sebagai
berikut:
1. Logika Umum,
yang merupakan studi tentang pemahaman secara umum, yang berarti pemahaman
tentang intuisi empirik dalam pembentukan konsep.
2. Logika
Khusus, yang merupakan logika yang berhubungan dengan area pengetahuan
tertentu. Sebagai contoh, logika penelitian ilmiah. Dalam hal ini, logika
diperalat untuk dijadikan aturan dan metode dalam bidang keilmuan tertentu.
Logika khusus bersifat deskriptif dan analitik. Logika ini tidak berhubungan
langsung dengan pengetahuan tertentu, melainkan merupakan refleksi dari area
pengetahuan yang sudah mapan terlebih dahulu.
3. Logika
Transendental merupakan studi tentang pemahaman murni, tanpa referensi pada
pengalaman. Jadi, logika transendental merupakan ilmu tentang konsep–konsep
pemahaman murni. Sebagai konsekuensinya, logika transendental merupakan
penelitian tentang asal usul, ekstensi dan validitas tujuan pemahaman murni.
Sintesis Konsep–Konsep
Tindakan konseptualisasi (tindakan penyatuan bermacam
representasi) dilakukan akal budi melalui pemahaman. Tindakan ini dikenal
dengan istilah sintesis representasi. Imajinasi merupakan fakultas akal budi
yang bertanggung jawab untuk menghasilkan sintesis. Hal ini merupakan sesuatu
yang sangat penting guna menghasilkan pengetahuan. Imajinasi mampu menguasai
berbagai konsep, membandingkan representasi–representasi dan melakukan fungsi–fungsi
yang diperlukan guna menghasilkan sintesis.
Kategori – Kategori
Kant memperkenalkan kategori sebagai konsep–konsep
murni tentang pemahaman. Kant menurunkan dua belas kategori. Keduabelas
kategori ini bersifat ‘murni’ karena tidak merujuk langsung terhadap
pengalaman. Tetapi konsep–konsep tersebut menunjukkan ukuran komparatif terhadap
muatan empiris. Kategori–kategori ini membentuk aturan–aturan yang melaluinya
sintesis konsep dapat tercapai. Kategori–kategori merupakan kondisi yang
diperlukan guna menghasilkan sintesis. Kant menurunkan kategori–kategori dengan
menggunakan deduksi transendental. Jadi, dapat disimpulkan, bahwa kategori–kategori
merupakan kondisi yang dibutuhkan demi tercapainya pengetahuan.
Tahapan Pemahaman
Kant menggambarkan pemahaman sebagai kemampuan
intelektual yang spontan, aktif dan kreatif dalam membentuk konsep. Pemahaman
selalu bersifat memediasi. Pemahaman berbanding terbalik dengan sensibilitas
yang bersifat sensual, pasif dan reseptif. Meskipun demikian, intuisi melalui
sensibilitasnya memberikan kita kesan langsung tentang dunia eksternal.
Metode yang Digunakan Dalam Deduksi Kategori – Kategori
Penganut rasionalisme umumnya memperlakukan kategori–kategori
sebagai substansi. Lalu kausalitas sebagai pengetahuan bawaan yang merupakan
fondasi bangunan seluruh pengetahuan. Sebaliknya, para filsuf empiris berpendapat
bahwa kategori–kategori merupakan teorema yang hanya bisa didapatkan melalui
analisis empirik. Pandangan empiris ini dapat kita temukan pada pandangan Hume.
Hume berpendapat bahwa kausalitas merupakan konsep empiris yang didapatkan
melalui kebiasaan. Kant tidak sependapat dengan pemikiran dari dua aliran
filsafat ini. Kant menempatkan kategori – kategori sebagai sarana untuk
memahami dunia. Kant menggunakan deduksi transendentalnya untuk membangun
konsepsi tentang kategori–kategori.
Sintesis Transendental Apersepsi
Kant menggunakan istilah apersepsi untuk menunjukkan
pengalaman yang datang secara bersamaan dengan kesadaran diri dalam kesatuan
transendental. Ia berpendapat bahwa kesatuan transendental pengalaman ini harus
senantiasa terjadi. Tanpanya kita tidak akan mampu untuk mensintesis intuisi–intuisi.
Artinya, untuk menyatukan beragam intuisi yang saling terpisah satu sama lain
menjadi satu konsep tunggal, disyaratkan rasionalitas terpadu.
‘Aku’ yang Kognitif dan ‘Aku’ yang
Empiris
Sintesis transendental apersepsi merupakan ‘Aku’ yang
kognitif, sebagaimana seluruh intuisi kita dipahami secara bersamaan. ‘Aku’
yang kognitif tidak boleh dipahami sebagai persona individu ‘Aku’ tersebut.
Konsep persona bersifat psikologis. Oleh karena itu, juga bersifat empiris.
Sebagaimana konsep sadar diri dibentuk berdasarkan kenangan yang diingat, citra
tubuh, kepribadian, dll. Persona merupakan ‘Aku’ yang empiris. Dalam pandangan
filsafat Cartesian, konsep ‘Aku’ yang kognitif dan ‘Aku’ yang empiris dipandang
sama. Sementara, Kant memandang kesamaan konsep Cartesian dalam menilai hal
tersebut sebagai sumber kesalahan skeptisisme Cartesian. Menurut Kant, ‘Aku’
yang empiris merupakan fenomena.
Batasan Kategori – Kategori
Kategori–kategori merupakan kaidah
kita memahami dunia melalui intuisi kita. Dengan demikian, kategori–kategori
tidak dapat ditempatkan di luar konteks pengalaman kita. Sebagai contoh,
menurut Kant seluruh pernyataan tentang Tuhan berada di luar pengalaman kita.
Sebab, pernyataan tentang Tuhan tidak pernah diturunkan dari kategori–kategori.
Oleh karena itu pernyataan tersebut tidak memenuhi syarat pengetahuan. Kant
mengatakan bahwa perihal ketuhanan merupakan bagian dari iman, bukan bagian
dari pengetahuan. Pandangan Kant ini bertentangan dengan filsuf–filsuf
rasionalis yang berpendapat bahwa eksistensi Tuhan dapat dibuktikan melalui
logika dialektik.
Objek
Objek merupakan sesuatu yang berada
dalam fakultas pemahaman yang didapatkan melalui kategori–kategori. Objek
senantiasa memuat pengalaman dalam kaitan, bahwa objek – objek ini mencegah
pengetahuan kita bersifat asal–asalan
dan arbitrer (sewenang-wenang).
Batasan dan
Berbagai Kemungkinan Pengalaman
Kategori–kategori
hanya bermakna jika dikaitkan dengan pengaplikasiannya pada intuisi. Akan
tetapi, kategori–kategori juga menghadirkan kondisi yang memungkinkan kita
untuk mengecap pengalaman. Hal ini dikarenakan kategori–kategori merupakan
satu–satunya kaidah kita dalam memahami dunia. Oleh karena itu, hanya melalui
kategori–kategori kita dapat ‘mengalami’ dunia. Sebagai contoh, jika saya
mengusulkan konsep tentang roh berwujud yang mampu terbang di angkasa, maka
konsep tersebut tidak dapat dimengerti karena tidak sesuai dengan kaidah
kategori. Artinya kita tidak mampu menangkap konsep tentang roh berwujud yang
terbang tersebut dalam penerapan empirisnya.
Fakultas – Fakultas Pengetahuan
Terdapat
tiga fakultas pengetahuan, yaitu pemahaman (understanding); penilaian (judgement)
dan penalaran (reason). Pemahaman bertindak guna menghasilkan konsep,
sementara fakultas penilaian berguna untuk menghasilkan suatu nilai dan nalar
bertindak sebagai pemberi kesimpulan. Ketiga fakultas pengetahuan ini dijadikan
wilayah studi logika umum Kantian.
Skematisasi Konsep – Konsep Murni Tentang Pemahaman
Pembahasan
ini dapat dikatakan merupakan bagian inti dari Critique of Pure Reason.
Melalui skematisasi ini, Kant menampilkan kondisi–kondisi yang kita butuhkan
untuk menyimpulkan kategori–kategori melalui pengalaman. Terdapat permasalahan
umum dalam filsafat tentang bagaimana kita mampu merepresentasikan suatu konsep
pada diri kita sendiri secara abstrak. Selanjutnya, yang menjadi pertanyaan
adalah bagaimana kita dapat mengenali abstraksi konsep–konsep tersebut pada
objek.
Kant
menjawab pertanyaan ini dengan menyatakan bahwa konsep mencapai eksistensinya
melalui skema, yang mana merupakan kaidah–kaidah tentang bagaimana konsep
tersebut diterapkan. Skema–skema ini kemudian berperan sebagai perantara dalam
proses penerapan konsep pada objek.
Analogi–Analogi
Perbedaan pandangan tentang
substansi dan kausalitas menyebabkan terjadinya pertentangan antara
rasionalisme dengan empirisme. Kaum rasionalis memandang substansi dan
kausalitas sebagai sesuatu yang bersifat ‘bawaan’. Sedangkan kaum empiris
menolak pandangan bahwa substansi dan kausalitas berada di luar pengalaman.
Kant menunjukkan bahwa kategori – kategori tersebut merupakan conditio sine
qua non dalam proses pemahaman. Karenanya kategori – kategori tersebut
merupakan a priori. Akan tetapi baru berarti jika dikaitkan dengan pengalaman.
Dengan kata lain, kategori – kategori tersebut bersifat sintetik.
Kritik
Terhadap Idealisme
Melalui “Critique of Pure Reason,”
Kant menganggap pentingnya membuat sanggahan terhadap pandangan idealisme
material. Idealisme Cartesian meragukan keberadaan objek–objek eksternal dan
karenanya eksistensi objek–objek eksternal tersebut tidak perlu dibuktikan.
Sementara Idealisme Berkeley berpendapat bahwa seluruh objek–objek eksternal
bersifat semu dan tidak dapat dipercaya. Kant menolak kedua pandangan idealisme
ini.
Noumena
Pengetahuan
kita pada akhirnya terbatas pada fakultas pemahaman kita yang tercermin melalui
kategori–kategori. Pencapaian utama filsafat Kant dibandingkan kedua aliran
filsafat sebelumnya (rasionalisme dan empirisme) adalah pembatasan–pembatasan
pada aspek pengetahuan kita. Pengetahuan kita sejatinya terbatas pada dunia
sehari–hari, yaitu dunia fenomena. Kita tidak dapat mencapai pada apa yang
memunculkan fenomena itu sendiri, suatu dunia ‘das Ding an sich’. Dalam “Critique
of Pure Reason” terjadi inkonsistensi dalam penggunaan istilah ‘noumena’.
Tetapi, umumnya ‘das Ding an sich’ merujuk pada objek dalam ‘noumena’.
Sementara ‘noumena’ menunjukkan gagasan dalam ‘das Ding an sich’.
Dengan demikian, noumena merupakan tembok intelektual yang menjadi batas
pengetahuan kita yang tetap dalam dunia fenomena.