Wednesday, October 20, 2021

REFLEKSI FILSAFAT PENDIDIKAN, APA YANG TERBAIK?

 

Dalam golongan filsafat pendidikan tradisional terdapat industrional trainer, technological pragmatism, dan old humanism. Sementara itu golongan filsafat pendidikan modern yaitu progressive educator dan public educator. Diantara kelima jenis pendidikan tersebut, yang terbaik adalah public educator. Dalam public educator politiknya bersifat demokrasi, setiap siswa mempunyai hak yang sama untuk bertindak. Pengetahuannya diperoleh melalui aktivitas social. Moral yang dijunjung dalam public educator adalah kebebasan. Teori masyarakatnya adalah kebutuhan revormasi atau pembaruan.

Dalam public educator teori siswanya yaitu konstruktivisme, siswa mebangun sendiri pengetahuannya. Sementara itu teori kemampuannya adalah kemampuan menerjemahkan. Tujuan pendidikannya adalah mengkonstruksi kehidupan secara mandiri. Dalam public educator teori belajar adalah juga bagaimana mampu menerjemahkan dengan baik dan benar. Sementara itu teori pengajarannya bersifat menerjemahkan atau diskusi atau mengartikan. Sumber belajarnya adalah lingkungan social, tidak terbatas. Evaluasi yang dilakukan dalam public educator adalah portofolio atau konteks social, yang merekam perkembangan siswa dari masa ke masa. Yang terakhir, ditinjau dari sisi perbedaan, public educator menganut kehetorogenan.

 

8. PIKIRAN IMMANUEL KANT, DI ANTARA LANGIT DAN BUMI

 

Ada yang bersifat tetap dan sebaliknya yang bersifat berubah. Kita awali yang bersifat tetap adalah idealism, sedangkan yang bersifat berubah adalah materialisme. Yang bersifat tetap adalah Monoisme, sedangkan yang bersifat berubah adalah Pluralisme. Yang bersifat tetap adalah Spiritualisme sedangkan yang bersifat berubah adalah Realisme. Segala hal yang bersifat tetap dapat dianggap ilmu langit, sedangkan segala hal yang bersifat berubah dapat dianggap ilmu bumi. Yang bersidat tepat adalah analitik, sedangkan yang bersifat berubah adalah sintetik.

Selanjutnya yang bersifat tetap adalah hukum, theorem, dan aksioma, sedangkan yang bersifat berubah adalah pengalaman atau empiris. Orang yang mempercayai apa yang belum ia kenali, dapat menerima hanya berdasarkan informasi yang diperolehnya disebut orang beraliran A Priori. Sedangkan orang yang tidak mudah mempercayai informasi sehingga harus melihat, mendengar, atau mengenali secara langsung objeknya disebut orang beraliran Empiricism. Pada intinya A Proiri dapat menerima segala teori yang memang diterima secara umum, sedangkan Empiricism harus mengalami sendiri suatu kejadian untuk dapat mempercayai sesuatu hal.

Selanjutnya yang bersifat tetap adalah Identitas, misalkan A = A, senantiasa tetap. Sedangkan yang bersifat berubah adalah Kontradiksi, misalkan  A ≠ A, senantiasa berubah, sebagai analogi bahwa Kita yang sekarang bukan Kita yang dahulu atau yang akan dating, senantiasa berubah. Pada intinya segala sesuatu yang bersifat tetap hanya milik Tuhan, kuasa Tuhan, Kausa Prima. Sementara itu segala sesuatu yang bersifat berubah berada di alam, atau disebut hukum alam.

Salah satu tokoh pendukung “Ketetapan” selain Permenides yaitu Rene Descartes. Dipihak lain, sebagai penantangnya, yaitu tokoh yang mendukung “Perubahan” selain Heraclitos yaitu David Hume. Ditengah pertentangan hebat tersebut ada seorang tokoh yang mmenjadi juru damai yaitu Imanuel Kant. Imanuel Kant mempertanyakan apakah semua hal bersifat tetap? Apakah semua hal bersifat berubah? Menurut pengamatannya tidak semua hal di dunia ini bersifat tetap dan tidak pula semuanya bersifat berubah. Sebagai contoh sederhana, sesuatu yang bersifat tetap adalah garis keturunan. Sampai kapanpun, dari dulu sampai sekarang dan nanti, Kita tetaplah anak dari orang tua kita, tidak akan pernah berubah status tersebut, status kekeluargaan tersebut akan tetap melekat, meskipun kita merubah nama Kita sekalipun.

Selanjutnya apa contoh dari hal yang bisa berubah? Yaitu pikiran kita. Pikiran kita dapat senantiasa berubah seiring sejalan dengan ilmu pengetahuan yang kita konstruksi dalam pikiran kita. Imanuel Kant Mengawinkan antara apa yang tetap dengan apa yang berubah yang disebut Sintetik Apriori. Selanjutnya ada tokoh yang sangat keras menentang kedua kelompok yang sudah dipaparkan sebelumnya, yaitu kelompok tetap dan kelompok berubah. Tokoh tersebut adalah Auguste Compte (1857). Auguste Compte menyatakan bahwa “Ketetapan” dan “Perubahan” sama-sama tidak berguna. Auguste Compte membuat aliran baru yaitu Positivsm, yang meletakkan positif sebagai puncak tertinggi, kemudian dilanjutkan di bawahnya yaitu metafisik, kemudian menempatkan agama di paling dasar. Sontak saja pemikiran Auguste Compte ini mengguncang dunia, apalagi kaum spriritualis.

 

7. PENTINGNYA REDUKSI DAN BAHAYANYA REDUKSI

 

Infinit rigres oleh Aristoteles, artinya tanpa ujung, tak terhingga. Reduksi berbahaya bagi orang yang tidak pakar. Reduksi artinya meringkas, mengeliminasi. Makhluk yang teriliminasi bisa merasa tersakiti, tersinggung, bahkan mati. Itulah artinya bahayanya mereduksi. Immanuel Kant melihat filsafat menjadi dua kutub, yaitu yang di atas itu apriori yang di bawah itu aposteriori, yang di atas itu langit dan yang di bawah itu bumi, dan sebagainya. Transenden terletak di kutub atas. Transenden kedudukannya paling tinggi atau yang kedudukannya lebih tinggi.

Immanuel Kant dan Aguste Komte sama-sama mengalami kebingungan, kesumpekan, terhadap kondisi di zamannya. Aguste Comte mencetuskan aliran positivism, yang menyatakan bahwa agama tidak bisa untuk membangun dunia, meletakkan agama paling bawah dan meletakkan positif di puncak tertinggi. Pendapat Aguste Comte ini disadari atau tidak memicu lahirnya metode ilmiah dan teknologi, hingga negara yang menjajah negara yang lain, menuju zaman industrial trainer. Inggris salah satu negara yang bercirikan Industrialis trainer.

Dalam Tipe Industrial Trainer, politiknya radical right. Pengetahuannya adalah Body of knowledge. Moralnya adalah baik vs buruk. Socialnya adalah market orientation. Siswa adalah empty vessel. Kemampuan adalah Talent dan Effort. Tujuan pendidikan adalah Back to Basic. Teori pembelajarannya adalah hardwork, drill, dan memorize. Teori Pengajaran adalah transfer of knowledge. Alat dan bahannya adalah papan tulisd an kapur. Evaluasinya adalah External Test. Kulturnya adalah monoculture.

Wednesday, October 13, 2021

REFLEKSI PERTEMUAN KE TUJUH


 

Infinit rigres oleh Aristoteles, artinya tanpa ujung, tak terhingga. Reduksi berbahaya bagi orang yang tidak pakar. Reduksi artinya meringkas, mengeliminasi. Makhluk yang teriliminasi bisa merasa tersakiti, tersinggung, bahkan mati. Itulah artinya bahayanya mereduksi. Immanuel Kant melihat filsafat menjadi dua kutub, yaitu yang di atas itu apriori yang di bawah itu aposteriori, yang di atas itu langit dan yang di bawah itu bumi, dan sebagainya. Transenden terletak di kutub atas. Transenden kedudukannya paling tinggi atau yang kedudukannya lebih tinggi.

Immanuel Kant dan Aguste Komte sama-sama mengalami kebingungan, kesumpekan, terhadap kondisi di zamannya. Aguste Comte mencetuskan aliran positivism, yang menyatakan bahwa agama tidak bisa untuk membangun dunia, meletakkan agama paling bawah dan meletakkan positif di puncak tertinggi. Pendapat Aguste Comte ini disadari atau tidak memicu lahirnya metode ilmiah dan teknologi, hingga negara yang menjajah negara yang lain, menuju zaman industrial trainer. Inggris salah satu negara yang bercirikan Industrialis trainer.

Dalam Tipe Industrial Trainer, politiknya radical right. Pengetahuannya adalah Body of knowledge. Moralnya adalah baik vs buruk. Socialnya adalah market orientation. Siswa adalah empty vessel. Kemampuan adalah Talent dan Effort. Tujuan pendidikan adalah Back to Basic. Teori pembelajarannya adalah hardwork, drill, dan memorize. Teori Pengajaran adalah transfer of knowledge. Alat dan bahannya adalah papan tulisd an kapur. Evaluasinya adalah External Test. Kulturnya adalah monoculture.

RESUME 2 CRITIQUE OF PURE REASON A Book By Immanuel Kant

 


Kant membagi pengetahuan kita menjadi sebagai berikut:

1.      Suatu pernyataan bersifat analitik, jika predikat dari subjek termuat  dalam subjek. Sebagai contoh, tautologi “Bola itu bulat”. Pernyataan ini benar karena predikat ‘bulat’ terkandung dalam subjek ‘bola’.

2.      Suatu pernyataan bersifat tidak analitik, jika pernyataan tersebut  menambahkan sesuatu yang baru tentang subjek. Pernyataan ini kemudian disebut tidak murni dan disebut sebagai pernyataan sintetik. Sebagai contoh, “Bola itu  berwarna merah”.

3.      Suatu pernyataan disebut benar secara a priori, jika kebenarannya ditentukan sebelum pengalaman, atau tanpa referensi pada pengalaman.

4.      Suatu pernyataan disebut benar secara a posteriori, jika pernyataan tersebut ditentukan kebenarannya melalui referensi pada pengalaman. Artinya kebenarannya hanya dapat ditentukan melalui acuan bukti empiris.

 

Deduksi transendental merupakan metode yang menjadi karakteristik argumen–argumen Kant dalam “Critique of Pure Reason.” Kata ‘Transenden’ bagi Kant berarti sesuatu yang berada di luar jangkauan pengalaman. Sedangkan melalui konsep transendental, Kant hendak menyelidiki bagaimana cara kita mengetahui. Bagi Kant, kedua kata tersebut memiliki makna yang sedikit berbeda.

Suatu konsep disebut sebagai pengetahuan murni, jika konsep tersebut diabstraksi dari pengalaman dan tidak terjadi secara langsung pada kenyataan. Pada tataran inilah pengetahuan transendental berada. Kant menuliskan, “Seluruh pengetahuan berawal dari pengalaman, akan tetapi hal ini tidak berarti, bahwa seluruh pengetahuan berasal secara langsung dari pengalaman”. Dalam hal ini, Kant secara tersirat menyinggung tentang pengetahuan transendental. Pengetahuan transendental bukanlah sesuatu yang dialami itu sendiri. Pengetahuan transendental tidak dapat dibuktikan kebenarannya tanpa pengalaman.

Melalui epistemologinya, Kant mengakui argumen filsuf empiris seperti  Hume, yang berpendapat bahwa seluruh pengetahuan berasal dari pengalaman. Di sisi lain Kant juga mengakui pemikiran rasionalis seperti Leibniz yang berpendapat  bahwa ide – ide dan pemikiran merupakan esensi dari pengetahuan. Epistemologi Kant hendak mensintesiskan dua kubu pemikiran yang bertentangan waktu itu.Kant memunculkan beberapa istilah baru guna mendukung filsafatnya,  antara lain:- Sensibilitas, yang berarti sarana kita untuk mendapatkan intuisi.

Sensibilitas bersifat reseptif. Melaluinya intuisi langsung ditransfer ke pikiran. Pemahaman, merupakan fakultas mental yang berfungsi untuk melakukan konseptualisasi intuisi – intuisi yang diberikan oleh sensibilitas. Pemahaman merupakan kegiatan nalar yang aktif dan imajinatif. Baik sensibilitas dan  pemahaman berfungsi saling melengkapi, keduanya dibutuhkan untuk mengalami dan memahami dunia.

Kant membedakan antara forma dan konsep. Forma merupakan struktur yang kita gunakan dalam memandang fenomena. Sedangkan konsep merupakan cara bagaimana kita memahami dan mengkategorikan fenomena guna mendapatkan pengetahuan. Forma merupakan bagian intuisi. Sementara konsep dapat dipelajari dan diterapkan oleh intuisi untuk memahami forma.

Kant berpendapat bahwa ruang dan waktu itu nyata secara empiris. Namun dengan menggunakan metode pemeriksaan transendental kita juga mengetahui bahwa ruang dan waktu tidak merepresentasikan sifat – sifat das Ding an sich. Sebaliknya, keduanya merupakan bagian dari cara kita memandang dunia. Ini merupakan salah satu contoh perbedaan yang digarisbawahi Kant tentang objektvitas empiris dan subjektivitas transendental. Dan juga menunjukkan kesatuan kedua konsep tersebut:

1.      Ruang dan waktu memiliki objektivitas empiris, karena keduanya merupakan prasyarat yang diperlukan untuk mengalami dunia objektif.

2.      Ruang dan waktu juga memiliki sisi subjektivitas transendental karena keduanya merupakan forma, yang mana melalui keduanya pikiran dapat memahami dunia. Waktu merupakan kontinutas dan keteraturan pengalaman. Ruang bersifat tidak diskursif, hanya terdapat satu ruang, sesuatu yang berukuran tak terbatas.

 

Kant membagi logika ke dalam tiga kategori, sebagai berikut:

1.      Logika Umum, yang merupakan studi tentang pemahaman secara umum, yang berarti pemahaman tentang intuisi empirik dalam pembentukan konsep.

2.      Logika Khusus, yang merupakan logika yang berhubungan dengan area pengetahuan tertentu. Sebagai contoh, logika penelitian ilmiah. Dalam hal ini, logika diperalat untuk dijadikan aturan dan metode dalam bidang keilmuan tertentu. Logika khusus bersifat deskriptif dan analitik. Logika ini tidak berhubungan langsung dengan pengetahuan tertentu, melainkan merupakan refleksi dari area pengetahuan yang sudah mapan terlebih dahulu.

3.      Logika Transendental merupakan studi tentang pemahaman murni, tanpa referensi pada pengalaman. Jadi, logika transendental merupakan ilmu tentang konsep–konsep pemahaman murni. Sebagai konsekuensinya, logika transendental merupakan penelitian tentang asal usul, ekstensi dan validitas tujuan pemahaman murni.

Tindakan konseptualisasi (tindakan penyatuan bermacam representasi) dilakukan akal budi melalui pemahaman. Tindakan ini dikenal dengan istilah sintesis representasi. Imajinasi merupakan fakultas akal budi yang bertanggung jawab untuk menghasilkan sintesis. Hal ini merupakan sesuatu yang sangat penting guna menghasilkan pengetahuan. Imajinasi mampu menguasai berbagai konsep, membandingkan representasi–representasi dan melakukan fungsi–fungsi yang diperlukan guna menghasilkan sintesis.

Kant memperkenalkan kategori sebagai konsep–konsep murni tentang pemahaman. Kant menurunkan dua belas kategori. Keduabelas kategori ini bersifat ‘murni’ karena tidak merujuk langsung terhadap pengalaman. Tetapi konsep–konsep tersebut menunjukkan ukuran komparatif terhadap muatan empiris. Kategori–kategori ini membentuk aturan–aturan yang melaluinya sintesis konsep dapat tercapai. Kategori–kategori merupakan kondisi yang diperlukan guna menghasilkan sintesis. Kant menurunkan kategori–kategori dengan menggunakan deduksi transendental. Jadi, dapat disimpulkan, bahwa kategori–kategori merupakan kondisi yang dibutuhkan demi tercapainya pengetahuan.

Kant menggambarkan pemahaman sebagai kemampuan intelektual yang spontan, aktif dan kreatif dalam membentuk konsep. Pemahaman selalu bersifat memediasi. Pemahaman berbanding terbalik dengan sensibilitas yang bersifat sensual, pasif dan reseptif. Meskipun demikian, intuisi melalui sensibilitasnya memberikan kita kesan langsung tentang dunia eksternal.

Penganut rasionalisme umumnya memperlakukan kategori–kategori sebagai substansi. Lalu kausalitas sebagai pengetahuan bawaan yang merupakan fondasi bangunan seluruh pengetahuan. Sebaliknya, para filsuf empiris berpendapat bahwa kategori–kategori merupakan teorema yang hanya bisa didapatkan melalui analisis empirik. Pandangan empiris ini dapat kita temukan pada pandangan Hume. Hume berpendapat bahwa kausalitas merupakan konsep empiris yang didapatkan melalui kebiasaan. Kant tidak sependapat dengan pemikiran dari dua aliran filsafat ini. Kant menempatkan kategori – kategori sebagai sarana untuk memahami dunia. Kant menggunakan deduksi transendentalnya untuk membangun konsepsi tentang kategori–kategori.

Kant menggunakan istilah apersepsi untuk menunjukkan pengalaman yang datang secara bersamaan dengan kesadaran diri dalam kesatuan transendental. Ia berpendapat bahwa kesatuan transendental pengalaman ini harus senantiasa terjadi. Tanpanya kita tidak akan mampu untuk mensintesis intuisi–intuisi. Artinya, untuk menyatukan beragam intuisi yang saling terpisah satu sama lain menjadi satu konsep tunggal, disyaratkan rasionalitas terpadu.

Sintesis transendental apersepsi merupakan ‘Aku’ yang kognitif, sebagaimana seluruh intuisi kita dipahami secara bersamaan. ‘Aku’ yang kognitif tidak boleh dipahami sebagai persona individu ‘Aku’ tersebut. Konsep persona bersifat psikologis. Oleh karena itu, juga bersifat empiris. Sebagaimana konsep sadar diri dibentuk berdasarkan kenangan yang diingat, citra tubuh, kepribadian, dll. Persona merupakan ‘Aku’ yang empiris. Dalam pandangan filsafat Cartesian, konsep ‘Aku’ yang kognitif dan ‘Aku’ yang empiris dipandang sama. Sementara, Kant memandang kesamaan konsep Cartesian dalam menilai hal tersebut sebagai sumber kesalahan skeptisisme Cartesian. Menurut Kant, ‘Aku’ yang empiris merupakan fenomena.

Kategori–kategori merupakan kaidah kita memahami dunia melalui intuisi kita. Dengan demikian, kategori–kategori tidak dapat ditempatkan di luar konteks pengalaman kita. Sebagai contoh, menurut Kant seluruh pernyataan tentang Tuhan berada di luar pengalaman kita. Sebab, pernyataan tentang Tuhan tidak pernah diturunkan dari kategori–kategori. Oleh karena itu pernyataan tersebut tidak memenuhi syarat pengetahuan. Kant mengatakan bahwa perihal ketuhanan merupakan bagian dari iman, bukan bagian dari pengetahuan. Pandangan Kant ini bertentangan dengan filsuf–filsuf rasionalis yang berpendapat bahwa eksistensi Tuhan dapat dibuktikan melalui logika dialektik.

Objek merupakan sesuatu yang berada dalam fakultas pemahaman yang didapatkan melalui kategori–kategori. Objek senantiasa memuat pengalaman dalam kaitan, bahwa objek – objek ini mencegah pengetahuan kita bersifat asal–asalan dan arbitrer (sewenang-wenang).

Kategori–kategori hanya bermakna jika dikaitkan dengan pengaplikasiannya pada intuisi. Akan tetapi, kategori–kategori juga menghadirkan kondisi yang memungkinkan kita untuk mengecap pengalaman. Hal ini dikarenakan kategori–kategori merupakan satu–satunya kaidah kita dalam memahami dunia. Oleh karena itu, hanya melalui kategori–kategori kita dapat ‘mengalami’ dunia. Sebagai contoh, jika saya mengusulkan konsep tentang roh berwujud yang mampu terbang di angkasa, maka konsep tersebut tidak dapat dimengerti karena tidak sesuai dengan kaidah kategori. Artinya kita tidak mampu menangkap konsep tentang roh berwujud yang terbang tersebut dalam penerapan empirisnya.

Terdapat tiga fakultas pengetahuan, yaitu pemahaman (understanding); penilaian (judgement) dan penalaran (reason). Pemahaman bertindak guna menghasilkan konsep, sementara fakultas penilaian berguna untuk menghasilkan suatu nilai dan nalar bertindak sebagai pemberi kesimpulan. Ketiga fakultas pengetahuan ini dijadikan wilayah studi logika umum Kantian.

Pembahasan ini dapat dikatakan merupakan bagian inti dari Critique of Pure Reason. Melalui skematisasi ini, Kant menampilkan kondisi–kondisi yang kita butuhkan untuk menyimpulkan kategori–kategori melalui pengalaman. Terdapat permasalahan umum dalam filsafat tentang bagaimana kita mampu merepresentasikan suatu konsep pada diri kita sendiri secara abstrak. Selanjutnya, yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana kita dapat mengenali abstraksi konsep–konsep tersebut pada objek.

Kant menjawab pertanyaan ini dengan menyatakan bahwa konsep mencapai eksistensinya melalui skema, yang mana merupakan kaidah–kaidah tentang bagaimana konsep tersebut diterapkan. Skema–skema ini kemudian berperan sebagai perantara dalam proses penerapan konsep pada objek.

Perbedaan pandangan tentang substansi dan kausalitas menyebabkan terjadinya pertentangan antara rasionalisme dengan empirisme. Kaum rasionalis memandang substansi dan kausalitas sebagai sesuatu yang bersifat ‘bawaan’. Sedangkan kaum empiris menolak pandangan bahwa substansi dan kausalitas berada di luar pengalaman. Kant menunjukkan bahwa kategori – kategori tersebut merupakan conditio sine qua non dalam proses pemahaman. Karenanya kategori – kategori tersebut merupakan a priori. Akan tetapi baru berarti jika dikaitkan dengan pengalaman. Dengan kata lain, kategori – kategori tersebut bersifat sintetik.

Melalui “Critique of Pure Reason,” Kant menganggap pentingnya membuat sanggahan terhadap pandangan idealisme material. Idealisme Cartesian meragukan keberadaan objek–objek eksternal dan karenanya eksistensi objek–objek eksternal tersebut tidak perlu dibuktikan. Sementara Idealisme Berkeley berpendapat bahwa seluruh objek–objek eksternal bersifat semu dan tidak dapat dipercaya. Kant menolak kedua pandangan idealisme ini.

Pengetahuan fenomenal kita memang valid secara transendental, akan tetapi juga valid secara objektif nyata. Namun, di luar dunia fenomena, hanya ada suatu dunia noumena, di mana terdapat benda dalam dirinya sendiri yang tidak dapat kita ketahui.

RESUME 1 CRITIQUE OF PURE REASON A Book By Immanuel Kant

 

 


 

Mengenal Immanuel Kant

Buku “Critique of Pure Reason” membahas tentang gagasan filsafat Kant tentang pengetahuan. Melalui karya ini, Kant terbangun dari ‘tidur dogmatik’ nya dan mulai membangun aliran filsafat yang disebut sebagai Kritisisme Kantian. Kritisisme merupakan filsafat yang diawali dengan menyelidiki kemampuan dan batas–batas nalar. Bagi Kant, kritisisme merupakan jawaban terhadap dogmatisme. Dogmatisme menganggap pengetahuan objektif sebagai hal yang terjadi dengan sendirinya. dogmatisme percaya sepenuhnya pada kemampuan nalar dan mendasarkan pandangannya pada kaidah–kaidah a priori tanpa bertanya apakah nalar memahami hakikatnya sendiri, yakni jangkauan dan batas–batas kemampuannya.

Karya – karya setiap filsuf mau tidak mau merupakan produk suatu pribadi yang hidup pada semangat zaman tertentu. Begitupula dengan “Critique of Pure Reason”. Untuk memahaminya, kita harus mendalami siapa Immanuel Kant dan bagaimana perkembangan zaman yang melatari penulisan buku ini. Immanuel Kant lahir di Prusia Timur pada tahun 1724. Ia lahir pada masa peperangan. Kant merupakan putera dari pembuat pelana miskin beragama Protestan. Kemungkinan leluhurnya berasal dari Skotlandia. Karena latar belakang keluarganya yang sederhana, Kant bekerja keras untuk mendapatkan posisi karier yang baik di Universitas Königsberg. Ia pertamakali bergabung di sini sebagai mahasiswa pada tahun 1740. Lantas menjadi asisten privat tahun 1746. Menjadi asisten dosen pada tahun 1755. Hingga berhasil menyandang gelar profesor pada tahun 1770.

Kant meninggal pada tahun 1804. Ia menghabiskan seluruh hidupnya di Königsberg. Kant hidup semasa pemerintahan Frederick Agung sebagai Raja Prusia. Frederick Agung dikenal sebagai pribadi yang menghormati otokrasi abad pencerahan, keberanian berpikir bebas, dan spekulasi filsafat. Immanuel Kant sendiri dikenal sebagai pribadi yang cerdas dan menyenangkan. Kuliah–kuliah yang diberikannya sangat populer dan menghibur. Akan tetapi, di sisi lain Kant juga merupakan cendikiawan yang hidupnya sangat teratur dan berdisiplin soal waktu. Kant juga merupakan pribadi yang sangat memperhatikan kesehatan.

Ketika menuliskan “Critique of Pure Reason”, Kant juga memakai dan mengkritisi gagasan–gagasan filsuf besar yang mempengaruhi zamannya. Banyak bagian buku ini yang menyangkal gagasan–gagasan filsafat empirik Hume, Berkeley dan Locke. Pada edisi kedua “Critique of Pure Reason”, Kant juga secara khusus menyanggah idealisme murni. Tujuan utama “Critique of Pure Reason” adalah mendamaikan pertentangan antara rasionalisme dan empirisme (antara akal budi dengan indera) dengan menunjukkan bahwa keduanya saling melengkapi.

 

Estetika dan Intuisi

Dalam “Critique of Pure Reason”, istilah estetika mengacu pada pengertian studi tentang persepsi yang ditangkap melalui indera secara langsung. Persepsi dalam pengertian Kant dianggap sebagai ‘data mentah’ yang hanya mencapai suatu keteraturan dan pengertian lewat konseptualisasi. Kant mengartikan intuisi sebagai proses penerimaan ‘data mentah’ pengetahuan dari pengalaman tanpa melalui konseptualisasi.

 

Revolusi Copernicus dalam Filsafat Kantian

Nicolaus Copernicus merupakan seorang ilmuwan abad ke–16 yang mencetuskan teori heliosentris. Teori yang menggeser pemahaman bahwa bumi merupakan pusat semesta (yang dianut oleh tradisi barat setelah dirumuskan secara mengagumkan oleh Ptolomeus). Model heliosentris dipandang lebih tepat untuk menjelaskan fenomena astronomis kala itu. Akan tetapi merupakan pandangan revolusioner yang ditentang keras oleh otoritas gereja Katolik semasa Kant hidup.

Kant juga memandang bahwa bangunan filsafat yang ia bangun merevolusikan pandangan terhadap akal budi manusia. Akal budi manusia yang kala itu dipandang sebagai ‘bejana’ pasif pengalaman menurut penganut empirisme, menjadi pusat kesadaran yang aktif. Alih–alih menganggap akal budi sebagai pusat hasil pengamatan semata, Kant justru berpendapat akal budi sebagai partisipator dalam pengamatan. Bahkan jika ditarik lebih jauh, Kant menganggap akal budi–lah yang memprakarsai dan membentuk pengalaman. Dunia yang saat ini kita pahami merupakan hasil dari pengorganisasian akal budi.

 

 

Sifat Dasar Pengetahuan

Kant membagi pengetahuan kita menjadi sebagai berikut: - Suatu pernyataan bersifat analitik, jika predikat dari subjek termuat dalam subjek. Sebagai contoh, tautologi “Bola itu bulat”. Pernyataan ini benar karena predikat ‘bulat’ terkandung dalam subjek ‘bola’. - Suatu pernyataan bersifat tidak analitik, jika pernyataan tersebut menambahkan sesuatu yang baru tentang subjek. Pernyataan ini kemudian disebut tidak murni dan disebut sebagai pernyataan sintetik.

Sebagai contoh, “Bola itu berwarna merah”. - Suatu pernyataan disebut benar secara a priori, jika kebenarannya ditentukan sebelum pengalaman, atau tanpa referensi pada pengalaman. - Suatu pernyataan disebut benar secara a posteriori, jika pernyataan tersebut ditentukan kebenarannya melalui referensi pada pengalaman. Artinya kebenarannya hanya dapat ditentukan melalui acuan bukti empiris. Seluruh pernyataan analitik bersifat a priori dengan alasan, bahwa kebenaran logika pernyataan tersebut terlepas dari pengalaman yang kita alami. Pernyataan ini tidak membutuhkan bukti empris untuk penilaian kebenarannya.

Seluruh pernyataan a posteriori dengan sendirinya pasti bersifat sintetik, karena terdapat informasi tambahan pada subjek yang didapatkan melalui pengalaman. Pada pernyataan di atas, misalkan kita mengamati bola berwarna merah, maka pernyataan sintetik ini menambahkan predikat ‘merah’ yang tidak terdapat pada subjek (didapatkan melalui pengamatan) ke dalam subjek ‘bola’. Kemudian yang menjadi pertanyaan adalah, adakah pernyataan sintetik yang bersifat a priori? Kant berpendapat bahwa ada pernyataan sintetik yang bersifat a priori, misalnya pernyataan kausalitas.

 

Penyataan A priori Sintetik

Kant berpendapat bahwa studi filsafat menjadi menarik ketika dihadapkan pada problem a priori sintetik. Dan faktanya, memang kajian filsafat modern selalu berhadapan dengan permasalahan a priori sintetik. Pandangan Kant ini bertentangan dengan aliran empirisme yang ketika itu populer di dunia filsafat. David Hume (1711 – 1776), menolak segala bentuk pandangan yang membenarkan a priori sintentik. Namun, bagi Kant penolakan Hume tersebut ironisnya justru merupakan bentuk a priori sintetik (pernyataan semacam ini kemudian digunakan pada beberapa abad kemudian untuk mempertanyakan keabsahan Prinsip Verifikasi penganut postivisme logis, “Bagaimana kita dapat memverifikasi Prinsip Verifikasi?”).

Kant berpendapat, bahwa a priori sintetik merupakan sesuatu yang esensial, karena merupakan bagian dari keutuhan nalar kita. A priori sintetik merupakan kondisi niscaya yang diperlukan agar pengetahuan menjadi mungkin. Di sinilah terletak kekhasan pemikiran seorang Immanuel Kant, yang ia sebut sebagai Revolusi Copernicus dalam bangunan filsafat. Kant menempatkan pikiran dalam kerangka aktif proses mengetahui dan a priori sintentik merupakan cara pikiran untuk aktif dalam proses mengetahui.

 

Fenomena dan Noumena

Kata ‘Fenomena’ merujuk pada dunia sebagaimana tampak pada kita dari perspektif personal. Bagi Kant, dunia nyata hanya merupakan dunia fenomena yang kita tangkap dan konseptualkan. Dunia fenomena berbeda dengan dunia noumena, yang mana merupakan dunia pada dirinya sendiri yang disebut dalam Bahasa Jerman sebagai ‘das Ding an sich’ yang berada di luar perspektif kita. Sesuatu dalam sesuatu itu sendiri, berada melampaui pengalaman kita. Kant berpendapat, bahwa kita tidak akan bisa mengetahui dunia noumena. Hal ini selamanya tidak dapat diketahui, karena kita tidak dapat keluar dari perspektif kita tentang dunia.

Konsekuensi pemikiran Immanuel Kant tentang dunia fenomena dan noumena adalah : Dunia yang kita kenal dan tinggali merupakan dunia fenomena yang diorganisasikan oleh pemikiran kita dengan mensintesiskan banyak data. Jika saya melihat sesuatu, maka sesuatu tersebut ada, karena dapat disentuh dan diorganisasikan dalam pikiran. Hal ini merupakan sebuah fenomena bukan noumena. Kant mengandaikan bahwa suatu benda dalam dirinya sendiri berada melampaui pengamatan kita.

 

Deduksi Transendental

Deduksi transendental merupakan metode yang menjadi karakteristik argumen–argumen Kant dalam “Critique of Pure Reason.” Kata ‘Transenden’ bagi Kant berarti sesuatu yang berada di luar jangkauan pengalaman. Sedangkan melalui konsep transendental, Kant hendak menyelidiki bagaimana cara kita mengetahui. Bagi Kant, kedua kata tersebut memiliki makna yang sedikit berbeda.

 

 

Pengetahuan Murni dan Pengetahuan Empiris

Suatu konsep disebut sebagai pengetahuan murni, jika konsep tersebut diabstraksi dari pengalaman dan tidak terjadi secara langsung pada kenyataan. Pada tataran inilah pengetahuan transendental berada. Kant menuliskan, “Seluruh pengetahuan berawal dari pengalaman, akan tetapi hal ini tidak berarti, bahwa seluruh pengetahuan berasal secara langsung dari pengalaman”. Dalam hal ini, Kant secara tersirat menyinggung tentang pengetahuan transendental. Pengetahuan transendental bukanlah sesuatu yang dialami itu sendiri. Pengetahuan transendental tidak dapat dibuktikan kebenarannya tanpa pengalaman.

 

Forma Ruang dan Waktu

Ruang dan waktu merupakan forma yang kita gunakan dalam melihat dunia. Ruang dan waktu tidak bersifat empiris dan konseptual. Ruang dan waktu adalah cara kita mengalami dunia. Kita dapat membayangkan suatu ruang dan waktu secara terpisah dari pengalaman. Oleh karena itu, ruang dan waktu berada di luar pengalaman.

Kant berpendapat bahwa keduanya tidak dapat dipelajari. Oleh sebab itu keduanya bukanlah konsep. Maknanya adalah suatu konsep berkorespondensi dengan pengalaman menjadi suatu peradaban tertentu akan mengkonseptualisasi dunia berbeda dengan yang lainnya. Namun, ruang dan waktu merupakan sesuatu yang niscaya dalam setiap peradaban.

 

Metode Logika

Kant membagi logika ke dalam tiga kategori, sebagai berikut:

1.      Logika Umum, yang merupakan studi tentang pemahaman secara umum, yang berarti pemahaman tentang intuisi empirik dalam pembentukan konsep.

2.      Logika Khusus, yang merupakan logika yang berhubungan dengan area pengetahuan tertentu. Sebagai contoh, logika penelitian ilmiah. Dalam hal ini, logika diperalat untuk dijadikan aturan dan metode dalam bidang keilmuan tertentu. Logika khusus bersifat deskriptif dan analitik. Logika ini tidak berhubungan langsung dengan pengetahuan tertentu, melainkan merupakan refleksi dari area pengetahuan yang sudah mapan terlebih dahulu.

3.      Logika Transendental merupakan studi tentang pemahaman murni, tanpa referensi pada pengalaman. Jadi, logika transendental merupakan ilmu tentang konsep–konsep pemahaman murni. Sebagai konsekuensinya, logika transendental merupakan penelitian tentang asal usul, ekstensi dan validitas tujuan pemahaman murni.

 

Sintesis Konsep–Konsep

Tindakan konseptualisasi (tindakan penyatuan bermacam representasi) dilakukan akal budi melalui pemahaman. Tindakan ini dikenal dengan istilah sintesis representasi. Imajinasi merupakan fakultas akal budi yang bertanggung jawab untuk menghasilkan sintesis. Hal ini merupakan sesuatu yang sangat penting guna menghasilkan pengetahuan. Imajinasi mampu menguasai berbagai konsep, membandingkan representasi–representasi dan melakukan fungsi–fungsi yang diperlukan guna menghasilkan sintesis.

 

Kategori – Kategori

Kant memperkenalkan kategori sebagai konsep–konsep murni tentang pemahaman. Kant menurunkan dua belas kategori. Keduabelas kategori ini bersifat ‘murni’ karena tidak merujuk langsung terhadap pengalaman. Tetapi konsep–konsep tersebut menunjukkan ukuran komparatif terhadap muatan empiris. Kategori–kategori ini membentuk aturan–aturan yang melaluinya sintesis konsep dapat tercapai. Kategori–kategori merupakan kondisi yang diperlukan guna menghasilkan sintesis. Kant menurunkan kategori–kategori dengan menggunakan deduksi transendental. Jadi, dapat disimpulkan, bahwa kategori–kategori merupakan kondisi yang dibutuhkan demi tercapainya pengetahuan.

 

Tahapan Pemahaman

Kant menggambarkan pemahaman sebagai kemampuan intelektual yang spontan, aktif dan kreatif dalam membentuk konsep. Pemahaman selalu bersifat memediasi. Pemahaman berbanding terbalik dengan sensibilitas yang bersifat sensual, pasif dan reseptif. Meskipun demikian, intuisi melalui sensibilitasnya memberikan kita kesan langsung tentang dunia eksternal.

 

Metode yang Digunakan Dalam Deduksi Kategori – Kategori

Penganut rasionalisme umumnya memperlakukan kategori–kategori sebagai substansi. Lalu kausalitas sebagai pengetahuan bawaan yang merupakan fondasi bangunan seluruh pengetahuan. Sebaliknya, para filsuf empiris berpendapat bahwa kategori–kategori merupakan teorema yang hanya bisa didapatkan melalui analisis empirik. Pandangan empiris ini dapat kita temukan pada pandangan Hume. Hume berpendapat bahwa kausalitas merupakan konsep empiris yang didapatkan melalui kebiasaan. Kant tidak sependapat dengan pemikiran dari dua aliran filsafat ini. Kant menempatkan kategori – kategori sebagai sarana untuk memahami dunia. Kant menggunakan deduksi transendentalnya untuk membangun konsepsi tentang kategori–kategori.

 

Sintesis Transendental Apersepsi

Kant menggunakan istilah apersepsi untuk menunjukkan pengalaman yang datang secara bersamaan dengan kesadaran diri dalam kesatuan transendental. Ia berpendapat bahwa kesatuan transendental pengalaman ini harus senantiasa terjadi. Tanpanya kita tidak akan mampu untuk mensintesis intuisi–intuisi. Artinya, untuk menyatukan beragam intuisi yang saling terpisah satu sama lain menjadi satu konsep tunggal, disyaratkan rasionalitas terpadu.

 

‘Aku’ yang Kognitif dan ‘Aku’ yang Empiris

Sintesis transendental apersepsi merupakan ‘Aku’ yang kognitif, sebagaimana seluruh intuisi kita dipahami secara bersamaan. ‘Aku’ yang kognitif tidak boleh dipahami sebagai persona individu ‘Aku’ tersebut. Konsep persona bersifat psikologis. Oleh karena itu, juga bersifat empiris. Sebagaimana konsep sadar diri dibentuk berdasarkan kenangan yang diingat, citra tubuh, kepribadian, dll. Persona merupakan ‘Aku’ yang empiris. Dalam pandangan filsafat Cartesian, konsep ‘Aku’ yang kognitif dan ‘Aku’ yang empiris dipandang sama. Sementara, Kant memandang kesamaan konsep Cartesian dalam menilai hal tersebut sebagai sumber kesalahan skeptisisme Cartesian. Menurut Kant, ‘Aku’ yang empiris merupakan fenomena.

 

 

Batasan Kategori – Kategori

Kategori–kategori merupakan kaidah kita memahami dunia melalui intuisi kita. Dengan demikian, kategori–kategori tidak dapat ditempatkan di luar konteks pengalaman kita. Sebagai contoh, menurut Kant seluruh pernyataan tentang Tuhan berada di luar pengalaman kita. Sebab, pernyataan tentang Tuhan tidak pernah diturunkan dari kategori–kategori. Oleh karena itu pernyataan tersebut tidak memenuhi syarat pengetahuan. Kant mengatakan bahwa perihal ketuhanan merupakan bagian dari iman, bukan bagian dari pengetahuan. Pandangan Kant ini bertentangan dengan filsuf–filsuf rasionalis yang berpendapat bahwa eksistensi Tuhan dapat dibuktikan melalui logika dialektik.

 

Objek

Objek merupakan sesuatu yang berada dalam fakultas pemahaman yang didapatkan melalui kategori–kategori. Objek senantiasa memuat pengalaman dalam kaitan, bahwa objek – objek ini mencegah pengetahuan kita bersifat asal–asalan dan arbitrer (sewenang-wenang).

Batasan dan Berbagai Kemungkinan Pengalaman

Kategori–kategori hanya bermakna jika dikaitkan dengan pengaplikasiannya pada intuisi. Akan tetapi, kategori–kategori juga menghadirkan kondisi yang memungkinkan kita untuk mengecap pengalaman. Hal ini dikarenakan kategori–kategori merupakan satu–satunya kaidah kita dalam memahami dunia. Oleh karena itu, hanya melalui kategori–kategori kita dapat ‘mengalami’ dunia. Sebagai contoh, jika saya mengusulkan konsep tentang roh berwujud yang mampu terbang di angkasa, maka konsep tersebut tidak dapat dimengerti karena tidak sesuai dengan kaidah kategori. Artinya kita tidak mampu menangkap konsep tentang roh berwujud yang terbang tersebut dalam penerapan empirisnya.

Fakultas – Fakultas Pengetahuan

Terdapat tiga fakultas pengetahuan, yaitu pemahaman (understanding); penilaian (judgement) dan penalaran (reason). Pemahaman bertindak guna menghasilkan konsep, sementara fakultas penilaian berguna untuk menghasilkan suatu nilai dan nalar bertindak sebagai pemberi kesimpulan. Ketiga fakultas pengetahuan ini dijadikan wilayah studi logika umum Kantian.

Skematisasi Konsep – Konsep Murni Tentang Pemahaman

Pembahasan ini dapat dikatakan merupakan bagian inti dari Critique of Pure Reason. Melalui skematisasi ini, Kant menampilkan kondisi–kondisi yang kita butuhkan untuk menyimpulkan kategori–kategori melalui pengalaman. Terdapat permasalahan umum dalam filsafat tentang bagaimana kita mampu merepresentasikan suatu konsep pada diri kita sendiri secara abstrak. Selanjutnya, yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana kita dapat mengenali abstraksi konsep–konsep tersebut pada objek.

Kant menjawab pertanyaan ini dengan menyatakan bahwa konsep mencapai eksistensinya melalui skema, yang mana merupakan kaidah–kaidah tentang bagaimana konsep tersebut diterapkan. Skema–skema ini kemudian berperan sebagai perantara dalam proses penerapan konsep pada objek.

 

Analogi–Analogi

Perbedaan pandangan tentang substansi dan kausalitas menyebabkan terjadinya pertentangan antara rasionalisme dengan empirisme. Kaum rasionalis memandang substansi dan kausalitas sebagai sesuatu yang bersifat ‘bawaan’. Sedangkan kaum empiris menolak pandangan bahwa substansi dan kausalitas berada di luar pengalaman. Kant menunjukkan bahwa kategori – kategori tersebut merupakan conditio sine qua non dalam proses pemahaman. Karenanya kategori – kategori tersebut merupakan a priori. Akan tetapi baru berarti jika dikaitkan dengan pengalaman. Dengan kata lain, kategori – kategori tersebut bersifat sintetik.

 

Kritik Terhadap Idealisme

Melalui “Critique of Pure Reason,” Kant menganggap pentingnya membuat sanggahan terhadap pandangan idealisme material. Idealisme Cartesian meragukan keberadaan objek–objek eksternal dan karenanya eksistensi objek–objek eksternal tersebut tidak perlu dibuktikan. Sementara Idealisme Berkeley berpendapat bahwa seluruh objek–objek eksternal bersifat semu dan tidak dapat dipercaya. Kant menolak kedua pandangan idealisme ini.

 

 

Noumena

Pengetahuan kita pada akhirnya terbatas pada fakultas pemahaman kita yang tercermin melalui kategori–kategori. Pencapaian utama filsafat Kant dibandingkan kedua aliran filsafat sebelumnya (rasionalisme dan empirisme) adalah pembatasan–pembatasan pada aspek pengetahuan kita. Pengetahuan kita sejatinya terbatas pada dunia sehari–hari, yaitu dunia fenomena. Kita tidak dapat mencapai pada apa yang memunculkan fenomena itu sendiri, suatu dunia ‘das Ding an sich’. Dalam “Critique of Pure Reason” terjadi inkonsistensi dalam penggunaan istilah ‘noumena’. Tetapi, umumnya ‘das Ding an sich’ merujuk pada objek dalam ‘noumena’. Sementara ‘noumena’ menunjukkan gagasan dalam ‘das Ding an sich’. Dengan demikian, noumena merupakan tembok intelektual yang menjadi batas pengetahuan kita yang tetap dalam dunia fenomena.

 

REFLEKSI PERTEMUAN KE ENAM

 


 

 

Nicolaus Copernicus merupakan seorang ilmuwan abad ke–16 yang mencetuskan teori heliosentris. Teori yang menggeser pemahaman bahwa bumi merupakan pusat semesta (yang dianut oleh tradisi barat setelah dirumuskan secara mengagumkan oleh Ptolomeus). Model heliosentris dipandang lebih tepat untuk menjelaskan fenomena astronomis kala itu. Akan tetapi merupakan pandangan revolusioner yang ditentang keras oleh otoritas gereja Katolik semasa Kant hidup.

Kant juga memandang bahwa bangunan filsafat yang ia bangun merevolusikan pandangan terhadap akal budi manusia. Akal budi manusia yang kala itu dipandang sebagai ‘bejana’ pasif pengalaman menurut penganut empirisme, menjadi pusat kesadaran yang aktif. Alih–alih menganggap akal budi sebagai pusat hasil pengamatan semata, Kant justru berpendapat akal budi sebagai partisipator dalam pengamatan. Bahkan jika ditarik lebih jauh, Kant menganggap akal budi–lah yang memprakarsai dan membentuk pengalaman. Dunia yang saat ini kita pahami merupakan hasil dari pengorganisasian akal budi.

Ruang dan waktu merupakan forma yang kita gunakan dalam melihat dunia. Ruang dan waktu tidak bersifat empiris dan konseptual. Ruang dan waktu adalah cara kita mengalami dunia. Kita dapat membayangkan suatu ruang dan waktu secara terpisah dari pengalaman. Oleh karena itu, ruang dan waktu berada di luar pengalaman.

Kant berpendapat bahwa keduanya tidak dapat dipelajari. Oleh sebab itu keduanya bukanlah konsep. Maknanya adalah suatu konsep berkorespondensi dengan pengalaman menjadi suatu peradaban tertentu akan mengkonseptualisasi dunia berbeda dengan yang lainnya. Namun, ruang dan waktu merupakan sesuatu yang niscaya dalam setiap peradaban.

 

 

 

10. Antara Kuantitatif, Kualitatif, dan Filsafat: Dalam Evaluasi Pendidikan

Filsafat berada di atas kualitatif, sedangkan kualitatif berada di atas kuantitatif. Filsafat itu ditambah metafisik, dan sedikit menyentu...