A.
Sejarah
Matematika
Hakikat matematika
dapat ditelusuri dari sejarah kuno matematika ke yang kontemporer. Kata
"matematika" berasal dari
Yunani “máthema” yang berarti ilmu, pengetahuan,
atau pembelajaran; dan "mathematikós"
berarti "suka belajar" (Marsigit, 2009). Artinya, pada hakikatnya matematika adalah kesukaan dalam
belajar. Belajar matematika seharusnya menyenangkan. Selanjutnya Menurut
Marsigit (2009), Matematika, seperti
aktivitas manusia lainnya, memiliki mode,
dan semakin dekat dengan periode tertentu, semakin besar kemungkinan mode ini terlihat
seperti gelombang dari masa lalu ke masa depan. Hal ini menunjukkan bahwa pada
dasarnya matematika adalah akitivitas biasa, bukanlah aktivitas yang khusus,
dan manusia terbiasa beraktivitas individu maupun secara sosial.
Peradaban Sumeria
berkembang sebelum 3500 SM, sebuah peradaban maju membangun kota dan mendukung
rakyat dengan sistem irigasi, sistem hukum, administrasi, dan bahkan layanan
pos. Menulis dikembangkan dan berhitung adalah berdasarkan sistem sexagesimal,
yaitu basis 60. Sekitar 2300 SM, Akkadians menemukan sempoa sebagai alat untuk
menghitung dan mereka mengembangkan metode aritmatika dengan penjumlahan,
pengurangan, perkalian, dan pembagian. Sekitar 2000 Sebelum Masehi, bangsa
Sumeria telah mengembangkan bentuk tulisan abstrak berdasarkan cuneiform yaitu simbol
berbentuk baji. Simbol mereka ditulis pada tablet tanah liat basah yang dipanggang
di bawah terik matahari dan ribuan tablet ini bertahan hingga hari ini. Babilonia
tampaknya telah mengembangkan simbol pengganti yang berfungsi sebagai nol pada
abad ke-3 SM, tetapi makna dan penggunaannya yang tepat masih belum pasti.
Mereka tidak memiliki tanda untuk memisahkan angka menjadi bagian integral dan
pecahan seperti titik desimal modern (Angka tiga tempat 3 7 30) (Marsigit,
2009). Artinya, pada awalnya, matematika muncul sebagai solusi dari
permasalahan manusia di masa lampu, yang kemudian dipelajari juga oleh manusia
di zaman sekarang.
Abad ke-17, periode
revolusi ilmiah, menyaksikan konsolidasi astronomi heliosentris Copernicus dan
pembentukan fisika inersia dalam karya Kepler, Galileo, Descartes, dan Newton.
Periode ini juga merupakan salah satu aktivitas intens dan inovasi dalam
matematika, yang selanjutnya dalam perkembangannya menghasilkan ideology
pendidikan, khususnya matematika, dari masa ke masa.
B.
Hakikat
Matematika menurut 5 Ideologi Pendidikan
1.
Industrial
Trainers
Matematika adalah
“bangunan pengetahuan dan teknik yang jelas” (Lawlor, 1988: 9), terdiri dari
fakta-fakta dan keterampilan (juga “konsep rumit dan canggih yang lebih tepat
untuk penelitian akademik”). Keterampilan mencakup “pemahaman matematika
sederhana” dan fakta-fakta termasuk “2 + 2 = 4” (Letwin, 1988). Matematika
Sekolah jelas batas-batasnya dari daerah lain pengetahuan, dan harus dijaga bebas dari noda hubungan
silang-kurikuler dan nilai-nilai sosial
(Lawlor, 1988: 7). Isu-isu sosial tidak punya tempat dalam matematika (Kampanye
untuk 155 Pendidikan Real, 1987), yang benar-benar netral, dan perhatian hanya isi
yang obyektif seperti bilangan dan perhitungan.
Dengan demikian adanya isu sosial seperti
multikulturalisme, etnisitas, anti-seksisme, anti-rasisme, studi-dunia, isu
lingkungan, perdamaian dan persenjataan, langsung
ditolak. Bukan saja mereka dianggap
tidak relevan dengan matematika, mereka merusak budaya Inggris (Falmer, 1986). Matematika adalah alat bebas nilai, dan sehingga dengan memasukkan
isu-isu seperti itu, biasanya merupakan upaya jahat untuk merusak
netralitasnya. Industrial Triner menganggap hakikat matematika merupakan badan
dari pengetahuan, sangat central perannya, sehingga harus netral.
2.
Technological
Pragmatists
Technological
Pragmatists menganggap pengajaran matematika adalah utilitarian, yaitu siswa harus
diajar matematika pada tingkat yang tepat untuk mempersiapkan mereka untuk
memenuhi tuntutan pekerjaan dewasa. Tujuan ini memiliki tiga komponen cabang:
(1) untuk membekali siswa dengan pengetahuan matematika dan keterampilan yang
diperlukan dalam pekerjaan, (2) untuk mengesahkan pencapaian matematika siswa
untuk membantu seleksi untuk kerja, dan (3) teknologi lebih lanjut dengan
pelatihan teknologi menyeluruh, seperti dalam kesadaran komputer dan keterampilan
teknologi informasi (Ernes, 2004). Terlihat bahwa Technological Pragmatists
menganggap hakikat matematika adalah kebenaran ilmu pengetahuan yang harus
dikuasai siswa agar tepat (tidak ada kesalahan) ketika digunakan dalam bekerja,
artinya yang terpenting berguna pada dunia kerja dan teknologi.
3.
Old Humanists
Kemutlakan
ideologi ini berarti bahwa matematika
terlihat sebagai sebuah bagian ilmu pengetahuan objektif yang murni,
berdasarkan penalaran dan logika, bukan karangan. Jadi hal ini adalah
bagian dari struktur ilmu pengetahuan
yang secara logika, cenderung memiliki pandangan bahwa matematika
sebagai hirarkis. Akar dari pandangan tersebut bermula pada Plato,
yang memandang ilmu matematika pada kemutlakan, istilah yang sukar
dipahami sebagai kemurnian, benar dan baik (Brent, 1978).
Old Humanis menyebarkan
matematika murni, dengan perhatian
pada struktur, tingkat konseptual, dan kekakuan
subjek. Tujuannya adalah untuk mengajar matematika pada nilai intrinsiknya,
sebagai sebuah bagian pusat warisan manusia, budaya, dan penghargaan
intelektual. Keperluan ini membawa siswa menyadari dan menilai dimensi
keindahan dan estetika matematika murni, di luar campur tangan pada
pembelajarannya. Sebuah tujuan tambahan yang penting adalah pendidikan
dari ahli matematika murni di masa depan, yang mengenalkan unsure keElitan.
Old Humanis menganggap hakikat matematika adalah stuktur dari ilmu pengetahuan,
struktur yang kaku, namun indah.
4.
Progressive
Educators
Filsafat
matematika adalah absolut, melihat kebenaran matematika sebagai kemutlakan
dan dapat dipercaya. Tapi hal ini adalah kemutlakan progresif, karena
nilai yang besar melekat pada peran individu yang akan datang untuk
mengetahui kebenaran ini. Manusia dipandang maju, dan semakin dekat pada
kebenaran matematika sempurna. Atas dasar nilai terhubung, matematika
dirasakan dalam hal humanistik dan pribadi, dan , kekreatifannya dari sisi manusia, dan
pengetahuan subjektif dinilai dan ditekankan. Tapi ini digabungkan
dengan absolutisme. Dengan demikian pandangan matematika adalah absolut
progresif, absolutisme diwarnai oleh, nilai-nilai kemanusiaan terhubung.
Ideologi para
pendidik progresif dalam matematika kebanyakan adalah bahan ribuan tahun
lalu. Tiga hal yang saling bersangkut paut dengan tradisi dalam
matematika ini dapat ditetapkan. Ketentuan dari sebuah lingkungan
terstruktur yang tepat dan pengalaman dalam mempelajari matematika; Pengembangan
penyelidikan sendiri dan aktif dalam matematika, oleh anak, yaitu sebuah
kepedulian terhadap perasaan anak, motivasi dan sikap serta perlindungan
dari aspek negatif. Sejak pergantian abad pendidik progresif telah
mencoba menyediakan lingkungan terstruktur yang tepat dan pengalaman
bagi anak-anak. Kecerdasan telah
disangkut-pautkan dalam pengembangan peralatan terstruktur matematika untuk beberapa topik seperti angka dan
aljabar.
Progressive
Educators menganggap matematika
menyumbang perkembangan meyeluruh dari pertumbuhan manusia, untuk mengembangkan kreativitas anak dan
realisasi diri dalam pengalaman belajar matematika. Hal ini mencakup dua
hal. Pertama, perkembangan anak sebagai penyelidik diri sendiri dan
orang yang tahu matematika. Kedua, mengembangkan kepercayaan diri anak,
sikap positif dan mengagumi diri sendiri dengan penghargaan terhadap
matematika, dan melindungi anak dari pengalaman negatif yang mungkin
merusak sikap ini. Sehingga jelas bahwa Progressive
Educators menganggap hakikat matematika adalah proses berpikir, terutama
berpikir kreatif.
5.
Public Educators
Public Educator
menganggap matematika sebagai konstruktivisme sosial. Hal ini memerlukan
suatu pandangan pengetahuan matematika
sebagai yang dapat dibenarkan dan quasi-empiris; pembubaran batas-batas subjek yang kuat, dan penerimaan nilai sosial dan pandangan sosio-historis dari subjek, dengan matematika dipandang sebagai
terikat budaya (culturebound) dan
sarat akan nilai (valueladen). Perwujudan
matematika pada kegiatan social dapat ditempuh dengan cara kerja proyek. Dengan
adanya proyek, maka beberapa siswa di dalam kelompok bekerjasama, berinteraksi
social, untuk menyelesaikan suatu proyek yang berorientasi pada matematika. Pernyataan
yang jelas tentang tujuan dan prinsip-prinsip proyek diberikan oleh Zimmer.
a.
Tidak
akan ada lagi pengajaran kelas. Semuanya akan dilakukan melalui proyek-proyek.
b.
Proyek
harus memenuhi kebutuhan kelas pekerja yang bertujuan untuk mencapai penentuan nasib sendiri.
c.
Prinsip
penentuan nasib sendiri juga harus berlaku di dalam sekolah, dan dalam memilih proyek.
d.
Sekolah tidak
harus hidup dalam dunia sendiri, tetapi harus pindah kembali ke dalam
masyarakat di daerah di mana perubahan dibutuhkan.
e.
Anak-anak
harus diberi semua kesempatan untuk pemenuhan diri. Mereka harus bahagia,
dan kebutuhan mereka harus dipenuhi, sejauh ini mungkin dalam konteks sekolah.
f.
Anak-anak tidak
harus dilenyapkan dari masyarakat, atau mereka bisa menerapkan pengembangan aplikasi mereka hanya untuk lingkungan sendiri yang terbatas. Mereka harus membela kepentingan-kepentingan mereka
dalam kaitannya dengan kepentingan masyarakat
secara keseluruhan, dan mereka harus bernegosiasi dan mengejar kepentingan mereka secara demokratis. (Lister, 1974, halaman 125-126)
Jadi Zimmer
mengusulkan bahwa situasi kehidupan dari
peserta didik adalah titik awal dari perencanaan pendidikan; prolehan
pengetahuan adalah bagian dari proyek; dan
perubahan sosial adalah tujuan akhir
dari kurikulum. Dia menyarankan bahwa
kurikulum harus berdasarkan
proyek-proyek untuk membantu diri murid mengembangkan diri dan kemandirian, dengan topik seperti 'konflik di pabrik' dan
'kantor kesejahteraan sosial'.
Tujuan dari Public
Educator adalah mengembangkan demokrasi kewarganegaraan melalui pemikiran
kritis dalam matematika. Ini melibatkan pemberdayaan individu untuk menjadi
pemecah percaya diri dan mengemukakan
masalah matematika yang tertanam dalam konteks sosial, dan dengan demikian pemahaman
lembaga sosial matematika. Pada tingkat yang lebih dalam, ia membantu peserta
didik untuk menjadi terlibat dalam kegiatan matematika, yang tertanam dalam
sosial pelajar dan konteks politik (Mellin-Olsen, 1987). Tujuan-tujuan ini
berasal dari keinginan untuk melihat
konstribusi pendidikan matematika pada kemajuan keadilan social bagi semua
masyarakat. Artinya Public Educator menganggap hakikat matematika sebagai
aktivitas social.
C.
Ideologi
Pendidikan Matematika yang Cocok untuk Indonesia
Pada awalnya
hakikat matematika adalah kesukaan dalam belajar. Matematika pada awalnya pun
dianggap sebagai solusi untuk menyelesaikan masalah-masalah kehidupan di masa
lampau. Saat ini pun sejatinya matematika dipelajari untuk mengatasi
masalah-masalah yang terjadi di masa ini. Akan tetapi ada hakikat yang
melenceng, yaitu matematika cenderung digunakan untuk memuaskan nafsu di dunia
industri. Selain itu makna awal matematika pun telah pudar, matematika bukan
lagi sesuai artinya yaitu “kesukaan dalam belajar”, saat ini matematika telah
menjadi “momok dalam belajar”, hal ini ditandai dengan rendahnya nilai ujian
matematika, khususnya di Indonesia.
Solusinya
adalah dengan cara mengembalikan matematika ke hakikat awalnya, yaitu kesukaan
dalam belajar. Bagaimana cara membuat matematika menjadi menyenangkan? Mungkin saja
ketidaksukaan terhadap matematika adalah karena selama ini masalah matematika
dianggap sebagai masalah individu, dipikirkan sendiri, diselesaikan sendiri,
sehingga sendiri dalam tekanan, sendiri dalam ketakutan. Bagaimana jika dirubah
menjadi masalah matematika adalah masalah social? Suatu masalah matematika
dikerjakan oleh kelompok siswa. Didalam kelompok tersebut, siswa-siswa saling
bekerjasama, saling berkomunikasi, saling berinteraksi untuk menyelesaikan
maslah matematika.
Sejatinya
model pembelajaran kooperatif sudah digunakan salam pembelajaran matematika
selama ini. Akan tetapi hasilnya kurang memuaskan. Perlu adanya stimulus yang
lebih menantang agar kerja kelompok tersebut dapat lebih berarti dan lebih
bermanfaat. Salah satu solusinya adalah dengan pengadaan proyek, proyek yang
berorientasi pada masalah matematika, dan kontekstual dengan dunia sehari-hari,
untuk menhasilkan produk yang dapat bermanfaat untuk masyarakat, social, bukan
untuk diri sendiri.
Pembelajaran
matematika yang berbasis proyek ini secara langsung maupun tidak langsung akan
merubah hakikat matematika dari permasalahan individu menjadi permasalahan yang
harus dipecahkan bersama oleh kelompok, di sinilah akan terjadi interkasi social,
di dalam kelompok susah bersama-sama, senang bersama-sama. Seperti kata pepatah
Indonesia, “berat sama di pikul, ringan sama dijinjing.” Artinya model
pembelajaran berbasis proyek ini dirasa cocok untuk kultur siswa Indonesia, yag
cenderung lebih mudah memahami Bahasa teman sebaya dibandingkan Bahasa gurunya.
Siswa Indonesia cenderung malu bertanya kepada gurunya ketika mengalami
kesulitan, mungkin karena malu atau takut. Siswa Indonesia lebih terbuka. Lebih
berani bertanya tentang hal-hal yang belum dipahaminya kepada teman
kelompoknya.